BESI DAN MALARIA

Posted on

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, terutama dibutuhkan dalam proses hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam sintesa haemoglobin (Hb). (Moehji, 1992). Dalam tubuh manusia zat besi memiliki fungsi yang sangat penting, diantaranya adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan serta berikatan dengan hemoglobin dalam darah.

Bagi orang yang terinfeksi malaria, kondisi kesakitannya tersebut dapat mempengaruhi distribusi zat besi dari penyimpanan. Konsentrasi serum besi, ironbinding capacity, dan saturasi serum ferritin secara keseluruhan terjadi penurunan. Konsentrasi serum besi yang menurun menyebabkan daya ikatnya terhadap hemoglobin rendah sehingga dapat terjadi anemia defisiensi besi.

Zat besi juga memiliki korelasi negatif dengan virulensi parasit plasmodium dalam jaringan tubuh penderita malaria. Suplementasi zat besi yang bertujuan untuk mengatasi anemia pada penderita malaria sangat tidak dianjurkan karena justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Penambahan zat besi akan meningkatkan virulensi parasit plasmodium yang dapat  memperparah kondisi penderita m\alaria.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Portugal menemukan bahwa pengembangan bentuk parah malaria dapat dicegah dengan mekanisme sederhana yang mengontrol akumulasi zat besi dalam jaringan dari sel yang terinfeksi. Ekspresi gen yang menetralkan zat besi dalam sel yang bernama H-Feritin, dapat mengurangi stres oksidatif untuk mencegah kerusakan jaringan dan kematian dari sel yang terinfeksi.

 

1.2 Tujuan penulisan

Makalah ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut:

  1. Untuk memnuhi tugas mata kuliah Gizi Kesehatan Masyarakat
  2. Untuk mengumpulkan infromasi mengenai hubungan zat besi dengan penyakit malaria
  3. Untuk acuan bahan belajar Gizi Kesehatan Masyarakat
  4. Untuk memenuhi nilai kelompok tugas mata kuliah Gizi Masyarakat

 

1.3  Manfaat penulisan

Adapun manfaat penulisan makalah Besi dan Malaria ini adalah:

  1. Memberikan informasi kepada penulis sendiri mengenai hubungan besi dan malaria
  2. Memberikan informasi kepada mahasiswa lain mengenai hubungan besi dan malaria
  3. Memberikan referensi informasi untuk dosen

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.    Pengertian Zat Besi

Besi merupakan salah satu unsur pokok alamiah dalam kerak bumi. Keberadaan besi dalam air tanah biasanya berhubungan dengan pelarutan batuan dan mineral terutama oksida, sulfida karbonat, dan silikat yang mengandung logam-logam tersebut (Poerwadio dan Masduqi, 2004).

Besi (Fe) adalah logam berwarna putih keperakan, liat dan dapat dibentuk. Fe di dalam susunan unsur berkala termasuk logam golongan VIII, dengan berat atom 55,85 g.mol-1, nomor atom 26, berat jenis 7,86 g.cm-3 dan umumnya mempunyai valensi 2 dan 3 (selain 1, 4, 6). Besi (Fe) adalah logam yang dihasilkan dari bijih besi, dan jarang dijumpai dalam keadaan bebas, untuk mendapatkan unsur besi, campuran lain harus dipisahkan melalui penguraian kimia. Besi digunakan dalam proses produksi besi baja, yang bukan hanya unsur besi saja tetapi dalam bentuk alloy (campuran beberapa logam dan bukan logam, terutama karbon) (Arifin, 2010).

Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, zat ini terutama diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam sintesa haemoglobin (Hb) (Moehji, 1992).

 

  1. B.     Komposisi Zat Besi Dalam Tubuh

Jumlah zat besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3 – 5 gr tergantung dari jenis kelamin, berat badan dan haemoglobin. Besi di dalam tubuh terdapat dalam haemoglobin sebanyak 1,5 – 3,0 gr dan sisa lainnya terdapat di dalam plasma dan jaringan. Di dalam plasma besi terikat dengan protein yang disebut “transferin” yaitu sebanyak 3 – 4 gr. Sedangkan dalam jaringan berada dalam suatu status esensial dan bukan esensial. Disebut esensial karena tidak dapat dipakai untuk pembentukan Hb maupun keperluan lainnya (Soeparman, 1990).

Setiap tahapan umur anak-anak mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda terhadap asupan zat besi, tetapi secara umum jumlah asupan yang di rekomendasikan adalah sebagai berikut :

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. C.    Fungsi Utama Zat Besi dalam Tubuh

Jumlah zat besi di dalam tubuh orang dewasa sehat adalah lebih kurang sebanyak 4 gram. Sebagian besar yaitu 2,5 gram berada di dalam sel-sel darah merah atau hemoglobin. Zat besi yang terdapat di dalam pigmen pada otot disebut myoglobin yang berfungsi untuk menangkap dan memberikan oksigen. Enzim intraselluler yang disebut phorphyrin juga mengandung zat besi. Enzim lain yang terpenting diantaranya adalah cytochrome yang selalu banyak terdapat di dalam sel. Pada orang yang sehat. sebagian zat besi yaitu lebih kurang 1 gram disimpan didalam hati yang berikatan dengan protein yang disebut ferritin.

Didalam tubuh zat besi mempunyai fungsi yang berhubungan dengan pengangkutan, penyimpanan dan pemanfaatan oksigen yang berada dalam bentuk hemoglobin, myoglobin atau cytochrome. Untuk memenuhi kebutuhan guna pembentukan hemoglobin. sebagian besar zat besi yang berasal dari pemecahan sel darah akan dimanfaatkan kembali. Kemudian baru kekurangannya harus dipenuhi dan diperoleh melalui makanan.

Keseimbangan zat besi di dalam tubuh perlu dipertahankan yaitu jumlah zat besi yang dikeluarkan dari tubuh sarna dengan jumlah zat besi yang diperoleh tubuh dari makanan. Bila zat besi dari makanan tidak mencukupi. maka dalam waktu lama akan mengakibatkan anemia. Sel-sel darah merah berumur 120 hari, jadi sesudah 120 hari sel-sel darah merah mati dan diganti dengan yang baru. Proses penggantian sel darah merah dengan sel-sel darah merah baru disebut turn over.

  1. D.    Sumber Zat Besi

Ada dua jenis zat besi dalam makanan, yaitu zat besi yang berasal dari hem dan bukan hem. Walaupun kandungan zat besi hem dalam makanan hanya antara 5 – 10% tetapi penyerapannya hanya 5%. Makanan hewani seperti daging, ikan dan ayam merupakan sumber utama zat besi hem. Zat besi yang berasal dari hem merupakan Hb. Zat besi non hem terdapat dalam pangan nabati, seperti sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan (Wirakusumah,1999).

            Zat besi nonhem didalam bentuk kompleks inorganic Fe3+ dipecah pada waktu pencernaan berlangsung dan sebagian dirubah dari Fe3+ menjadi Fe2+ yang lebih siap diabsorpsi. Konversi Fe3+ menjadi Fe2+ dipermudah oleh adanya faktor endogenus seperti HCl dalam cairan sekresi gastric, komponen zat gizi yang berasal dari makanan seperti vitamin C, atau daging, atau ikan.

Zat gizi yang telah dikenal luas dan sangat berperanan dalam meningkatkan absorpsi zat besi adalah vitamin C. Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi nonhem sampai empat kali lipat.Vitamin C dengan zat besi mempunyai senyawa ascorbat besi kompleks yang larut dan mudah diabsorpsi, karena itu sayur-sayuran segar dan buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C baik dimakan untuk mencegah anemia .

Selain faktor yang meningkatkan absorpsi zat besi seperti yang telah disebutkan, ada pula faktor yang menghambat absorpsi zat besi. Faktor-faktor yang menghambat itu adalah tannin dalam teh, phosvitin dalam kuning telur, protein kedelai, phytat, fosfat, kalsium, dan serat dalam bahan makanan (Monsen and Cook dalam Husaini, 1989). Zat-zat gizi ini dengan zat besi membentuk senyawa yang tak larut dalam air, sehingga lebih sulit diabsorpsi. Seseorang yang banyak makan nasi, tetapi kurang makan sayur-sayuran serta buah-buahan dan lauk-pauk, akan dapat menjadi anemia walaupun zat besi yang dikonsumsi dari makanan sehari-hari cukup banyak. Kecukupan konsumsi zat besi Nasional yang dianjurkan untuk anak balita berumur 1-3 tahun adalah 8 mg, sedangkan untuk anak balita berumur 4-6 tahun adalah 9 mg (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, 2003).

 

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keanekaragaman konsumsi makanan sangat penting dalam membantu meningkatkan penyerapan Fe di dalam tubuh. Kehadiran protein hewani, vitamin C, vitamin A, zink (Zn), asam folat, zat gizi mikro lain dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh. Manfaat lain mengkonsumsi makanan sumber zat besi adalah terpenuhinya kecukupan vitamin A. Makanan sumber zat besi umumnya merupakan sumber vitamin A.

Makanan rata-rata mengandung sekitar 6 mgram zat besi setiap 1.000 kalori, sehingga rata-rata orang mengkonsumsi zat besi sekitar 10-12 mgram/hari. Sumber yang paling baik adalah daging. Tubuh menyerap sekitar 1-2 mgram zat besi dari makanan setiap harinya, yang secara kasar sama dengan jumlah zat besi yang dibuang dari tubuh setiap harinya.

  1. E.     Dampak Kekurangan dan kelebihan zat besi

Kurangnya zat besi dan asam folat dapat menyebabkan anemia. Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa tahap. Awalnya terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi, bila tidak dipenuhi masukan zat besi lama kelamaan timbul gejala anemia disertai penurunan kadar Hb. Kadar normal haemoglobin dalam darah yaitu pada anak balita 11 gr%, anak usia sekolah 12 gr%, wanita dewasa 12 gr%, ibu hamil 11 gr%, laki-laki 13 gr%, ibu menyusui 12 gr% (Departemen Kesehatan, 1992).

Ciri-ciri gejala anemia tidak khas dan sulit ditemukan tetapi dapat terlihat dari kulit dan konjungtiva yang pucat, tubuh lemah, nafas pendek dan nafsu makan hilang. Penentuan anemia klinis dipengaruhi oleh banyak variabel seperti ketebalan kulit dan pigmantasi yang tidak dapat diandalkan kecuali pada anemia berat. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium sebaiknya digunakan untuk mendiagnosis dan menentukan beratnya anemia (Daemeyer, 1993).

Adapun kekurangan zat besi lainnya dapat menyebabkan :

1. Keletihan, lemah badan.

2. Berdebar, sakit dada

3. Kesukaran bernafas

Kelebihan zat besi bisa menyebabkan keracunan, dimana terjadi muntah, diare dan kerusakan usus.

Zat besi dapat terkumpul di dalam tubuh jika seseorang:

  • mendapatkan terapi zat besi dalam jumlah yang berlebihan atau dalam waktu yang terlalu lama
  • menerima beberapa tranfusi darah
  • menderita alkoholisme menahun.

Hemokromatosis merupakan penyakit kelebihan zat besi yang diturunkan, yang bisa berakibat fatal tetapi mudah diobati, dimana terlalu banyak zat besi yang diserap, menyerang lebih dari 1 juta orang di AS.

Biasanya gejala-gejalanya tidak timbul sampai usia pertengahan dan berkembang secara tersembunyi, berupa:

– kulit menjadi berwarna merah tembaga

– sirosis

– kanker hati

– diabetes

– gagal jantung, hingga kematian

Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah  yang paling penting adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat; tetapi tubuh juga memerlukan

sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga serta keseimbangan hormon, terutama eritropoietin (hormon yang merangsang pembentukan sel darah merah). Tanpa zat gizi dan hormon tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen sebagaimana mestinya. Penyakit kronik juga bisa menyebabkan berkurangnya pembentukan sel darah merah.

Asupan normal zat besi biasanya tidak dapat menggantikan kehilangan zat besi karena

perdarahan kronik dan tubuh hanya memiliki sejumlah kecil cadangan zat besi. Sebagai akibatnya, kehilangan zat besi harus digantikan dengan tambahan zat besi.

Janin yang sedang berkembang menggunakan zat besi, karena itu wanita hamil juga memerlukan tambahan zat besi.

  1. F.     Pengertian Malaria

Penyakit malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh plasmodium falsifarum, plasmodium vivax, plasmodium malariae, plasmodium ovale dan yang mix atau campuranyang penularannya melalui gigitan nyamuk anopheles betina (Kemenkes,2011).

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium dengan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi.Individu yang terinfeksi mengaktifkan serangkaian mekanisme pertahanan yang bertujuan untuk menghilangkan parasit.Namun, hal ini tidak benar-benar efisien dalam hal menghindari bentuk parah dari penyakit dan akhirnya kematian.Ada lagi strategi pertahanan yang memberikan toleransi penyakit malaria, mengurangi keparahan penyakit tanpa menargetkan parasit, baru-baru ini disorot oleh Miguel Soares dan kolaborator dalam jurnal Science. Penelitian sekarang telah diterbitkan dalam jurnal Cell Host & Mikroba menunjukkan bahwa strategi pertahanan bertindak melalui pengaturan metabolisme zat besi dalam inang yang terinfeksi.

Penyakit malaria adalah salah satu penyakit yang penularannya melalui gigitan nyamuk anopheles betina.Berdasarkan survai unit kerja SPP (serangga penular penyakit) telah ditemukan di Indonesia ada 46 species nyamuk anopheles yang tersebar diseluruh Indonesia.Dari species-species nyamuk tersebut ternyata ada 20 species yang dapat menularkan penyakit malaria. Dengan kata lain di Indonesia ada 20 species nyamuk anopheles yang berperan sebagai vektor penyakit malaria. ( Hiswani ,2004)

Penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodia family plasmodiidae dan ordo coccidiidae. Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 macam parasit malaria yaitu:

  1. Plasmodium Falciparum penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan malaria  yang berat.
  2. Plasmodium vivax penyebab malaria tertina.
  3. Plasmodium malaria penyebab malaria quartana.
  4. Plasmodium ovale jenis ini jarang sekali dijumpai di Indonesia, karena umumnya banyak kasusnya terjadi di Afrika dan Pasifik Barat.

 

 

 

 

 

 

 

Gambar. Plasmodium falciparum                                Gambar. Plasmodium vivax

 

 

 

 

 

Gambar. Plasmodium malariae                             Gambar. Plasmodium ovale

  1. G.    Gejala Malaria

Secara klinis, gejala dari penyakit malaria terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu yang diselingi oleh suatu periode dimana penderita bebas sama sekali dari demam.Gejala klinis malaria antara lain sebagai berikut:

  1. Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat.
  2. Nafsu makan menurun
  3. Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.
  4. Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi dengan plasmodium Falciparum.
  5. Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran limpa.
  6. Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan penurunan.

 

Pada anak, makin muda  usia  makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang menonjol adalah mencret (diare) dan pucat karena kekurangan darah (anemia) serta adanya riwayat kunjungan ke atau berasal dari daerah malaria.

Malaria menunjukkan gejala-gejala yang khas, yaitu:

  1. Demam berulang yang terdiri dari tiga stadium: stadium kedinginan, stadium panas, dan stadium berkeringat
  2. Splenomegali (pembengkakan limpa)
  3. Anemi yang disertai malaise
    1. H.    Penularan

Malaria ditularkan ke penderita dengan masuknya sporozoit plasmodium melalui gigitan nyamuk betina Anopheles yang spesiesnya dapat berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Terdapat lebih dari 15 spesies nyamuk Anopheles yang dilaporkan merupakan vektor malaria di Indonesia. Penularan malaria dapat juga terjadi dengan masuknya parasit bentuk aseksual (tropozoit) melalui transfusi darah, suntikan atau melalui plasenta (malaria congenital).

  1. Penularan secara alamiah (natural infection)

Penularan ini terjadi melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang infektif. Nyamuk menggigit orang sakit malaria maka parasit akan ikut terhisap bersama darah penderita malaria. Di dalam tubuh nyamuk parasit akan berkembang dan bertambah banyak, kemudian nyamuk menggigit orang sehat, maka melalui gigitan tersebut parasit ditularkan ke orang lain.

  1. Penularan yang tidak alamiah
    1. Malaria bawaan (congenital)

Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria. Disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya.

  1. Secara mekanik

Penularan terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril.

  1. Secara oral (melalui mulut)

Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam (P.gallinasium) burung dara (P.Relection) dan monyet (P.Knowlesi).

  1. I.    Patogenesis Malaria Berat

Penelitian patogenesis malaria berat berkembang pesat, meskipun demikian penyebab pasti belum jelas.Titik perhatian dalam patogenesis malaria berat adalah sekuestrasi eritrosit yang berisi parasit dalam mikrovaskular organ vital. Faktor lain seperti induksi sitokin oleh toksin parasit dan produksi nitrit oksida diduga mempunyai peranan penting dalam patogenesis malaria berat.

a. Faktor Parasit

1. Intensitas transmisi

Tingkat parasitemia yang terjadi selama puncak transmisi adalah 14 x lebih tinggi dibandingkan saat tingkat transmisi rendah.Rendahnya parasitemia pada saat transmisi disebabkan oleh karena adanya imunitas yang telah diperoleh saat puncak transmisi.Sedangkan tingginya parasitemia saat puncak transmisi disebabkan karena meningkatnya jumlah gigitan nyamuk infeksius.

2. Densitas parasit

Hubungan antara tingkat parasitemia dan mortalitas akibat malaria falsiparum pertama kali dilaporkan oleh Field dan Niven.Mortalitas meningkat pada parasitemia 100.000/μL. Tingkat parasitemia dapat digunakan untuk menilai beratnya penyakit.Meskipun demikian, pada daerah endemis malaria, parasitemia yang tinggi sering ditemukan pada individu yang asimptomatik.Dilain pihak terdapat kasus kematian akibat malaria dengan tingkat parasitemia yang rendah.

Beratnya penyakit lebih ditentukan oleh jumlah parasit yang bersekuestrasi ke dalam jaringan dari pada jumlah parasit dalam sirkulasi.

3. Virulensi parasit

Virulensi parasit ditentukan oleh daya multiplikasi parasit, strain parasit, kemampuan melakukan sitoadherens dan rosseting.Ringwald dan Carlson melaporkan adanya hubungan antara virulensi parasit dengan kemampuan pembentukan roset pada penderita di Gambia dan Malagasi.Namun Al-Yaman tidak menemukan hubungan ini pada penelitian di Papua Nugini.

b. Faktor Host

Faktor penjamu yang berperan dalam terjadinya malaria berat adalah endemisitas, genetik, umur, status nutrisi dan status imunologi.

1. Endemisitas

Pada daerah endemis malaria yang stabil, malaria berat terutama terdapat pada anak kecil sedangkan orang dewasa umumnya hanya menderita malaria ringan. Di daerah dengan endemisitas rendah, malaria berat terjadi tanpa memandang usia.

2. Genetik

Kelainan genetik yang saat ini diketahui mempunyai efek protektif terhadap malaria berat adalah kelainan dinding eritrosit dan HLA kelas I serta II yaitu HLA-Bw 53, HLA-DRBI 1302, HLA DQB 0501.

3. Umur

Bayi berusia 3-6 bulan yang lahir dari seorang ibu yang imun, mempunyai imunitas yang diturunkan, sehingga meskipun terdapat hiperparasitemia dan demam, tetapi jarang mengalami malaria berat.

Primigravida yang tinggal didaerah hipoendemis lebih rentan terhadap malaria serebral.Keadaan ini diduga disebabkan oleh menurunnya imunitas dengan mekanisme yang belum diketahui.

4. Status Nutrisi

Malaria berat sangat jarang ditemukan pada anak-anak dengan marasmus atau kwashiorkor. Defisiensi zat besi dan riboflavin juga dilaporkan mempunyai efek protektif terhadap malaria berat..

5. Imunologi

Mekanisme imunologi malaria berat melibatkan imunitas selular dan humeral yang komplek.Limpa memegang peranan penting dalam mekanisme imunologi malaria, karena limpa memfagositosis eritrosit.Proses pembersihan oleh limpa merupakan mekanisme penting dalam pertahanan tubuh dan patogenesis anemia pada malaria.

 

  1. J.      Mekanisme Patogenesis

Setelah sporozoit dilepas sewaktu nyamuk anopeles betina menggigit manusia, akan masuk kedalam sel hati dan terjadi skizogoni ektsra eritrosit. Skizon hati yang matang akan pecah dan selanjutnya merozoit akan menginvasi sel eritrosit dan terjadi skizogoni intra eritrosit, menyebabkan eritrosit mengalami perubahan seperti pembentukan knob, sitoadherens, sekuestrasi dan rosseting.

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Lingkaran Hidup Plasmodium Falsiparum

 

 

  • Eritrosit Parasit (EP)

EP memulai proses patologik infeksi malaria falsiparum dengan kemampuan adhesi dengan sel lain yaitu endotel vaskular, eritrosit dan menyebabkan sel ini sulit melewati kapiler dan filtrasi limpa. Hal ini berpengaruh terjadinya sitoadherens dan sekuestrasi.

  • Sitoadherens

Sitoadherens adalah melekatnya EP matang di permukaan endotel vaskular. Sitoaherens merupakan proses spesifik yang hanya terjadi di kapiler dan venula post kapiler. Penumpukan EP di mikrovaskular menyebabkan gangguan aliran mikrovaskular sehingga terjadi anoksia/hipoksia jaringan.

  • Sekuestrasi

Sitoadherens menyebabkan EP bersekuestrasi dalam mikrovaskular organ vital.Parasit yang bersekuestrasi menumpuk di otak, paru, usus, jantung, limpa, hepar, otot dan ginjal. Sekuestrasi menyebabkan ketidak sesuaian antara parasitemia di perifer dan jumlan total parasit dalam tubuh.

Penelitian di Vietnam melaporkan bahwa sekuestrasi di otak terjadi baik pada kasus malaria serebral maupun non serebral dengan jumlah kuantitatif lebih tinggi pada malaria serebral. Dilaporkan juga tidak ada kasus malaria serebral yang tidak mengalami sekustrasi. Dengan demikian sekuentrasi diperlukan dalam patogenesa malaria serebral.

  • Rosetting

Rosetting adalah perlekatan antara satu buah EP matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga berbentuk seperti bunga.Rosetting berperan dalam terjadinya obstruksi mikrovaskular.Meskipun demikian peranan rosetting dalam patogenesis malaria berat masih belum jelas.

  • Sitokin

Kadar TNF-alfa di daerah perifer meningkat secara nyata pada penderita malaria terutama malaria berat.Kadar IFN-gamma, IL-1, IL-6, LT dan IL-3 juga meningkat pada malaria berat.Sitokin-sitokin ini saling berinteraksi dan menghasilkan efek patologi Meskipun demikian peranan sitokin dalam patogenesis malaria berat masih dalam perdebatan.

  1. K.    Hubungan Zat Besi terhadap Malaria

. Anemia defisiensi besi pada daerah endemis malaria akan menyebabkan kematian terutama pada anak dan ibu hamil. Anak di bawah 5 tahun di daerah endemis malaria juga akan berisiko untuk menderita malnutrisi energi protein serta defisiensi mikronutrien termasuk seng.

Defisiensi besi yaitu berkurangnya total kandungan besi dalam tubuh yang dibagi dalam 3 tahap. Gangguan keseimbangan besi akan menyebabkan deplesi besi ditandai dengan total besi dalam tubuh berkurang tetapi tidak mempengaruhi sintesis hemoglobin. Bila asupan besi pada sumsum tulang tidak adekuat maka akan terjadi tahap berikutnya yaitu defisiensi besi pada eritropoesis.

Akhirnya jika besi sangat kurang untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin yang normal maka akan timbul anemia defisiensi besi.Terdapat beberapa bukti bahwa parasitemia yang menetap dan berulang menyebabkan defisiensi besi walaupun mekanismenya masih belum jelas. Terdapat penurunan absorbsi besi pada fase akut penyakit.  Kadar haptoglobin yang rendah, karena adanya hemolisis intravaskular, yang akan mengurangi pembentukan kompleks haptoglobin/ hemoglobin serta penurunan penggunaan besi. Terjadinya immobilisasi besi di dalam kompleks hemazoin (pigmen malaria).

Anemia malaria berat lebih sering ditemukan pada daerah dengan penyebaran malaria yang tinggi dan sebagian besar ditemukan pada anak-anak dan wanita hamil (Greenwood, 1997). Prevalensi anemia yang didefinisikan sebagai kadar hematokrit (Hct) lebih tinggi dari 0,33, pada daerah endemic malaria di Afrika, bervariasi antara 31% dan 91% pada anak-anak dan antara 60% dan 80% pada wanita hamil (Menendez, 2000; Schellenberg, 2003). 

Malaria adalah suatu penyakit yang mengancam jiwa yang menyerang sekitar setengah dari populasi dunia yang seringkali menjadi penyakit parah yang mengancam jiwa. Malaria menyebabkan perubahan distribusi besi dari penyimpanan. Konsentrasi serum besi, ironbinding capacity dan saturasi serum transferin semuanya menurun, tetapi kebalikannya pada defisiensi besi kosentrasi serum feritin meningkat, hitung retikulosit normal atau meningkat. Hitung retikulosit digunakan untuk menilai kecepatan reaksi sumsum tulang terhadap anemia. Setelah pengobatan respon retikulosit dapat dilihat dalam 48-72 jam, dengan respon maksimal hari ke 5-10. Retikulosit meningkat sedikit setelah pemberian suplementasi besi tapi tidak berbeda bermakna dan tampak nilainya lebih tinggi pada pemberian besi ditambah plasebo. Infeksi, inflamasi, dan penyakit keganasan menyebabkan kerusakan pada mukosa sehingga dapat menyebabkan peningkatan kecepatan sintesis di retikuloendotelial sistem dan terjadi peningkatan konsentrasi serum feritin. Infeksi akibat parasit malaria akan menyebabkan turunnya kadar hemoglobin sehingga terjadi anemia akibat defisiensi besi sedangkan kadar serum feritin akan mengalami peningkatan.

Cukup sulit untuk menentukan jumlah kasus anemia berat yang disebabkan oleh malaria sebagaimana defenisi WHO mengenai anemia malaria berat (kadar haemoglobin [Hb] < 50 g/L [5 g/dL] atau Hematokrit [Hct] < 0,15, dalam keadaan adanya parasitemia > 10.000 per mikroliter [µL), dan sebuah lapisan darah yang normocytic) dapat mengeluarkan proporsi pertimbangan dari anak anemia berat yang memiliki asupan darah negatif untuk parasit malaria tetapi merespon terhadap pengobatan antimalaria (Menendez, 1997; Warrel, 1990).

Kemungkinan akan sulit untuk menghubungkan anemia dengan sebuah penyebab tunggal karena penyebab anemia malaria di daerah endemic biasanya kompleks dan defisiensi hematinin, sifat genetic, dan infeksi berulang kesemuanya itu berkontribusi terhadap anemia (Roberts et.al, 2005). Namun demikian, sebuah randomized placebo-controlled trial profilaksis malaria dan suplementasi besi pada bayi, pada sebuah daerah endemic, telah memperihatkan bahwa infeksi malaria merupakan faktor etiologi utama yang mendasari terjadinya anemia (Schellenberg et.al, 2001).

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam edisi terbaru jurnal Cell Host & Mikroba, Miguel Soares dan timnya di Instituto de Ciencia Gulbenkian (IGC) Portugal, menemukan bahwa pengembangan bentuk parah malaria dapat dicegah dengan mekanisme sederhana yang mengontrol akumulasi zat besi dalam jaringan dari sel yang terinfeksi. Mereka menemukan bahwa ekspresi gen yang menetralkan zat besi dalam sel, yang bernama H-Feritin, mengurangi stres oksidatif mencegah kerusakan jaringan dan kematian dari sel yang terinfeksi. Ini mekanisme perlindungan memberikan strategi terapi baru terhadap malaria.

Ada strategi pertahanan yang memberikan toleransi penyakit malaria, mengurangi keparahan penyakit tanpa menargetkan parasite. Miguel Soares dan kolaborator dalam jurnal Science. yang telah diterbitkan dalam jurnal Cell Host & Mikroba menunjukkan bahwa strategi pertahanan bertindak melalui pengaturan metabolisme zat besi dalam inang yang terinfeksi.

Diketahui bahwa membatasi ketersediaan besi untuk patogen dapat mengurangi virulensi parasit plasmodium, yaitu kemampuan mereka untuk menyebabkan penyakit. Namun, teknik ini mempunyai dampak buruk, yaitu akumulasi zat besi beracun dalam jaringan dan organ dari host yang terinfeksi. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan, lebih pada meningkatkan daripada mencegah keparahan penyakit. Dalam karya eksperimental oleh Raffaella Gozzelino, menunjukkan bahwa sel terinfeksi mengatasi masalah ini dengan menginduksi H-Feritin, yang mendetoksifikasi zat besi. Dampak perlindungan dari H-Feritin adalah mencegah perkembangan ke bentuk parah dan sering mematikan dari malaria.

Para peneliti juga meneliti apakah ada korelasi antara keparahan malaria dan ekspresi feritin pada manusia. Bersama dengan Bruno Bezerril Andrade (saat ini di Institut Nasional Alergi dan Penyakit Infeksi, NIH, USA), Nivea Luz dan Manoel Barral-Netto (di Fundação Oswaldo Cruz dan Faculdade de Medicina, Universidade Federal da Bahia, Brazil) mereka menganalisis sampel dari individu yang terinfeksi dengan Plasmodium di Rondônia, di bagian utara-barat Brasil. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa, di antara orang yang terinfeksi, mereka dengan tingkat ferritin yang lebih tinggi mengalami kerusakan jaringan lbih sedikit. Bersama dengan data eksperimen yang diperoleh pada tikus, pengamatan ini mengungkapkan bahwa feritin memberikan perlindungan terhadap malaria, tanpa mengganggu langsung parasit yang menyebabkan penyakit.

Miguel Soares mengatakan, individu yang mempunyai tingkat yang lebih rendah dari Feritin dan mungkin berada pada risiko yang lebih tinggi terserang bentuk parah dari malaria. Selain itu, penelitian Miguel Soraes juga mendukung sebuah teori yang menjelaskan bagaimana perlindungan terhadap malaria, serta penyakit menular lainnya, dapat beroperasi tanpa penargetan langsung agen penyebab penyakit, yaitu Plasmodium. Sebaliknya, strategi ini bekerja dengan melindungi sel-sel, jaringan dan organ dalam tubuh yang terinfeksi, sehingga membatasi tingkat keparahan penyakit.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar pustaka

Moehyi, S. 1992. Makanan Intitusi dan Jasa Boga. Bhratara, Jakarta.

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23896/4/Chapter%20II.pdf

http://kesmas-unsoed.info/2012/06/pengertian-besi-fe.html

Ministry of health RI, 2011, “Indonesian Health Profile 2010”, Ministry of Health Republic of Indonesia, Jakarta.

Iyer JK, Shi L, Shankar AH, dkk. Zinc protoporphyrin IX binds heme crystal to inhibit the process of crystallization in Plasmodium falciparum. Molecular Med 2003; 9:175-82.

The Zinc Against Plasmodium Study Group. Effect of zinc on the treatment of Plasmodium falciparum malaria in children: a randomized controlled trial. Am J Clin Nutr 2002; 76:805-12.

Hastka J, Lasserre JJ, Schwarzbeck A. Central role of zinc protoporphyrin in staging iron deficiency.Clin Chem 1994; 40/5:768-73.

Brabin BJ. The role of malaria in nutritional anemias. Dalam: Fomon SJ, Zlotkins S, penyunting. Nutritional

Anemias. Newyork: Nestec/Raven Press; 1992. h. 65-80.

Fomon SJ. Iron. Dalam: Fomon SJ, penyunting. Infant nutrition.Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders; 1974. h.299-317

Rettmer RL, Timothy H, Origenes ML. Zinc protoporphyrin/heme ratio for diagnosis of preanemic iron deficiency. Pediatrics 1999; 104:37-41.

Will AM. Iron metabolism, sideroblastic anemia and iron overload. Dalam: Lilleyman JS, Hann IM, Blanchette VS, penyunting. Pediatric hematology.Edisi ke-2. London: Churchill Livingstone; 2000. h. 105-26.

Verhoef H, West CE, Nzyuko SM. Intermittent administration of iron and sulfadoxine-pyrimethamine to controle anaemia in Kenyan children: a randomized controlled trial. Lancet 2002; 360:984-14.

Lind T, Lonnerdal B, Stenlund H, dkk. A communitybased randomized controlled trial of iron and zinc supplementation in Indonesian infants: interactions between iron and zinc. Am J Clin Nutr 2003; 77: 883-90.

 

Kuczmarski RJ, Ogden CL, Guo SS, dkk. 2000 CDC growth chart for the United State: Methods and development. National Center for Health Statistics.Vital Health Stat 11 (246). 2002. Diunduh dari: http//www.cdc.gov/growthcharts

Verhoef H, Rijlaarsdam, Burema J. Infection and malnutrition in African children. Dalam: Verhoef H, penyunting. Iron deficiency and malaria as determinants of anaemia in African children. Disertasi. Wageningen: Wageningen University; 2001.h. 10-45.

Caulfield LE, Richard SA, Black RE. Under nutrition as an underlying cause of malaria morbidity and mortality in children less than five years old. Am J Trop Med Hyg 2004; 71(Suppl 2): 55-63.

Genton B, Al-Yaman F, Ginny M, Taraika J, Alpers MP. Relation of anthropometry to malaria morbidity and immunity in Papua New Guinean children. Am J Clin Nutr 1998; 68: 734-41.

Shankar AH.Nutritional modulation of malaria morbidity and mortality. J Infect Dis 2000; 182 (suppl1): S37-S53.

Labbe RF, Vreman HJ , Stevenson DK. Zinc protoporphyrin: A metabolite with a mission. Clin Chem 1999; 45: 2060-72.

Dallman PR, Yip R, Oski FA. Iron deficiency and relatednutritional anemias. Dalam: Nathan DG, Oski FA, penyunting. Hematology of infancy and childhood.Edisi ke-4. Philadelphia: Saunders; 1993. h. 413-46.

Sandoval C, Jayabose S, Eden AN. Trends in diagnosis and management of iron deficiency during infancy and early childhood.Hematol Oncol Clin N Am 2004; 18: 1423-1438.

Haematopoiesis. Dalam: Hoffgrand AV, Petit JE, penyunting. Kapita selekta haematologi. Edisi ke-2, EGC; 1996, h.1-27.

Schwartz E. Anemia of chronic disorder and renal diseases. Dalam: Behrman RE, Kligman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson text book of pediatric, Edisi ke-16.Philadelphia : Saunders; 2000. h. 1461-2.

Oski FA. Nutritional anemias. Dalam: Walker WA, Watkins JB, penyunting. Nutrition in pediatrics basic science and clinical application.Edisi ke-1. Toronto: Mackintosh CL, Beeson JG. Clinical features and pathogenesis of severe malaria.Trends in Parasitology.2004;20:597-603.3.

Harijanto.Malaria. Epidemiologi, Patogenesis Manifestasi Klinis, & Penanganan.2000.

Zulkarnain I.Setiawan B.Malaria Berat.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid III.ed IV.2006:1767-1770. 10. Chen Q. Schlichtherlem. Molecular Aspects of Severe Malaria. Clinical Microbiology.2008;13:439-450.

Philip J.Rosenthal MD. Artesunate for The Treatment of Severe Malaria. N. Engl J.Med.2008;358:1829-1836.

Ferreira A.Balla J.A Central Role for free heme in the Pathogenesis of Severe Malaria.J Mol Med.2008;86:1097-1111.

 

Leave a comment